Oleh: Yudi Prayoga*
Agama diturunkan untuk untuk memperbaiki akhlak yang mulai tidak sesuai dengan keinginan manusia dan alam semesta,
serta membenarkan syariat terdahulu yang kebaikanya membumi pada manusia, yakni sunnatullah yang dapat difahami dengan akal sehat dan perasaan yang mendalam. Agama-pun harus disertai dengan perasaan sayang, sopan santun, lego-legowo, lapang dada, andap ashor, dan cinta kasih.
serta membenarkan syariat terdahulu yang kebaikanya membumi pada manusia, yakni sunnatullah yang dapat difahami dengan akal sehat dan perasaan yang mendalam. Agama-pun harus disertai dengan perasaan sayang, sopan santun, lego-legowo, lapang dada, andap ashor, dan cinta kasih.
Agama Cinta memberikan fokus pada dimensi lain dalam agama, yakni cinta dan kasih sayang. Penekananya lebih pada dimensi jamal atau keindahan dan kecantikan Tuhan, bukan dimensi jalal atau keagungan-Nya. Keberagamaan yang berorientasi cinta kasih lebih menekankan sifat-sifat Tuhan yang lembut, seperti ar-Rahman dan ar-Rahim (Mahakasih Sayang), al-ghafur (Maha Pengampun), al-Shabur (Maha Penyabar), al-Syakur (Maha Bersyukur), al-Tawwab (Maha Penerima hamba-Nya yang hendak kembali dalam sesal setelah melakukan dosa), dan seterusnya.
Hubungan antara Tuhan dan Hamba-Nya dalam keberagamaan cinta-kasih ini diibaratkan seperti hubungan antarkekasih, antara Al-Asyiq dan al-Ma’syuq, antara yang mencintai dan yang dicintai. Model seperti ini sering kita kenal dalam pengalaman mistisisme dan tasawuf.
Dalam realita sejarah, sejak lahirnya suatu agama hingga lahir lagi suatu agama yang baru untuk menyempurnakannya, dan lahir terus menerus hingga agama pamungkas serta penyempurna terakhir yakni Islam. Ketika agama dan syareat terdahulu masih dipertahankan pemeluknya sampai sekarang, tidak bisa di elakkan kembali satu agama dengan agama yang lainya saling menghina, menghujat, bahkan sampai darah menetes diujung tombak. Tidak hanya berhenti disitu saja isu sekte dalam agama masing-masing pun memanas saling membakar dan memusnahkan. Seperti hilangnya ruh toleransi, mengatas namakan agama dan moral sebagai referensi keadilan, banyak orang bertanya-tanya, “jika agama tak ramah, melegitimasi intoleransi, kezaliman, dan penindasan atas manusia, apakah ia masih dibutuhkan?"
Di zaman ini seperti tidak faham dengan keseragaman bentuk yang Tuhan sendiri meridhoinya. Yang dibenci Tuhan bukan perbedaan, tapi tidak ingatnya kepada Tuhan dalam perbedaan. Tuhan Sang Maha Cinta, ar-Rahman, selalu mengasihi setiap hamba-hamba-Nya. Tidak ada sesuatu di dunia ini yang bukan ciptaa-Nya, semua beraal dari-Nya bukan dari yang lain. Mereka juga seperti kembali dalam kejahiliahan yang beku.
Era pra-Islam di tanah Arab banyak ditandai pertikaian antar suku yang berlarut-larut hanya persoalan kecil, persis seperti persoalan-persoalan sekarang yang terjadi di indonesia, misalnya, di salah satu majlis. Hanya karena perbedaan istilah nama penyebutan untuk keramahan dan persaudaraan malah menimbulkan pertikaian karena tidak mengetahui esensi makna dari arti. Padahal hanya persoalan kata hingga melibatkan lebih dari ribuan orang dari setiap penjuru menjadi resah. Inilah keadaan yang sama seperti di era Arab pra-Islam; situasi yang sangat sensitif, dan mudahnya suku-suku tersulut kemarahan, berdebat dengan argumen pemaksaan dan saling bertengkar satu dengan yang lainya karena hal-hal sepele. Situasi inilah yang disebut dengan situasi jahiliyyah ”kebodohan”.
Lawan dari kebodohan semacam ini adalah hilm, kemampuan seseorang atau kelompok sosial untuk mengabaikan persoalan-persoalan sepele yang dapat menjadi bencana peperangan. Lebih baik memaafkan dan bersikap lebih terbuka dengan kebenaran, yang bukan hanya sekedar simbol, tapi dengan mencintai saudaranya sesama agama, setanah air, sebangsa, dan lebih luas sesama semua manusia. Seperti perkataanya Gus Mus yang dilagukan oleh Iwan Fals, ”aku mencintaimu karena engkau manusia, aku menghargaimu karena engkau manusia”. Jadi dalam hidup ini jangan hanya terpaku pada sekte agama atau mendewakan otoritas agama secara berlebih-lebihan, karena berdampak pada selainya.
Seperti kutipan Syair Tirta Pawitra
Ya Rahman jangankan belaianku
Kasih-Mu-pun di picikkan
Ya Rahim jangankan pelukanku
Sayang-Mu-pun di tendengkan
Ya Aziz jangankan syair-syairku
Firman-Mu-pun di sepelekan
Ya Jabbar jangankan puisi-puisiku
Ayat-ayat-Mu-pun di dustakan
Saya ibaratkan masyarakat suku sunda dan jawa dengan lego-legowonya sangat berpotensi untuk menjadi maestro pelopor kedamaian dunia, bukan karena menafikan suku yang lainya, ini hanya sebagai contoh kecil saja yang memang mayoritas realitanya seperti ini. masihkah kita ingat kembali dalam wacana sejarah, para Wali Songo dengan dakwahnya yang supel serta berbaur dengan masyarakat lokal dapat merenggut hati kecil masyarakat yang melibatkan emosional cinta dan persaudaraan saling menjaga.
Prinsip dalam tauhid mengajarkan bahwa semua manusia di dunia adalah sama sederajat dan setara. Semua adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada kelebihan satu manusia atas manusia yang lain. Satu-satu ukuran yang menjadikan manusia sebagai hamba paling sempurna, istemewa, dan unggul dari manusia yang lain adalah ketakwaan kepada Tuhan :
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.” (QS Al-Hujurat [49]: 13).
Nabi muhammad juga lebih banyak menegaskas ayat diatas dalam berbagai kesempatan dengan menegaskan bahwa orang Arab tidak lebih baik dan lebih unggul daripada non-Arab. Orang kulit putih tidak lebih utama dari pada orang kulit hitam. Putih dan hitam adalah simbol semata dari warna. Seperti ungkapan budayawan tanah air, Sudjewo Tedjo ”jika kesucian hanyalah putih maka tidak ada kopi diantara kita”. Kebaikan, keutamaan, dan keunggulan seseorang semata-mata karena ketakwaan kepada Tuhan. Nabi juga mengatakan bahwa Tuhan tidak menilai seseorang dengan keistemewaan dari aspek tubuh melainkan dari hati dan kerjanya.
Kebebasan, kesederajatan, persaudaraan, keadilan, keindahan, kecantikan, dan kasih sayang adalah pernyataan paling rasional dalam sistem Tauhid. Ini semua adalah norma-norma kemanusiaan yang sangat universal untuk suatu kemakmuran dalam beragama, bernegara, dan berbangsa sesama mahluk Tuhan di muka bumi. Oleh sebab itu, seluruh aktivitas manusia di bumi jika di implementasikan untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, dan perdamaian, sejatinya termasuk beribadah kepada Tuhan juga. Dan sesungguhnya agama hadir untuk memanusiakan manusia, bukan melecehkan sesama manusia.
Sebenarnya agama yang hadir semuanya membawa risalah kebenaran, perdamaian, dan ketenangan manusia. Tetapi pemeluknyalah yang membuat penyimpangan, sehingga seakan akan agama menjadi kotor dan serba pemicu kerusuhan. Pemeluk agama hanya ada dua, kalau tidak ia taat maka ia laknat, semua akan beriringan satu sama lain dan saling merebut, menggerus kekuasaan keyakinan. Bahkan banyak yang memperkosa keyakinan saudaranya sendiri dan menelanjanginya dengan tanpa rasa hormat. Apakah ini yang di ajarkan penghulu kita, Rasulullah Saw. Padahal Tuhan sendiri sungguh Maha Bijaksana ketika Dia menegaskan bahwa, ”Tidak (boleh) ada paksaan (ikrah) dalam agama.” (QS Al-Baqarah [2]; 256). Dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (w.1292 H) dengan tegas menyatakan bahwa adalah mustahil (tidak masuk akal) jika agama, apa pun namanya, diturunkan Tuhan untuk mendatangkan ketidakadilan, ketidakrahmatan, dan kecelakaan atas manusia. Jika hal ini terjadi, maka pastilah interpretasi, regulasi, atau aturan-aturan positif yang memperlakukanya yang tidak tepat.
Keyakinan dan pikiran adalah milik Tuhan semata-mata. Tidak ada seorang pun dimuka bumi ini yang berhak memaksakan kehendaknya dan memaksakan keyakinan terhadap orang lain.
Oleh sebab itu, adalah kebijakan yang adil jika Tuhan melindungi keyakinan hambanya, termasuk perlindungan terhadap tempat-tempat untuk mengekpresikan keyakinan hamba-hamba kepada-Nya. Tuhan sendiri telah mengatakan: ”Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama-)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahabijaksana.” (QS Al-Hajj [22]: 40)
Dengan itu juga, cara apapun, ritual apapun yang dilakukan hamba-Nya untuk mengungkapkan pengabdian kepada Tuhan, dilindungi-Nya. Atas dasar ini Tuhan melindungi dan melarang orang-orang beriman mencaci maki keyakinan orang lain. Hidup ini seperti timbal balik, ketika kita mencaci-maki orang lain yang berhubungan dengan keyakinannya berarti kita juga sama saja mencaci-maki diri kita sendiri. Telah dijelaskan di dalam kitab Al-Qur’an: ”Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan mereka apa yang dahulu mereka kerjakan” (QS Al-An’am [6]: 108).
Ini semua adalah gagasan-gagasan agama Islam dalam mencapai keharmonisan sesama pemeluk agama maupun berbeda agama, dengan cara melihat manusia sebagai manusia, apapun identitas dirinya, yang harus di hormati dan dihargai, sebagaimana Tuhan sendiri menghargainya. Gus Dur pernah mengatakan bahwa “Sebelum belajar agama belajarlah dulu menjadi manusia, kelak ketika kalian membela agama kalian sadar bertindak sebagai manusia bukan sebagai Tuhan”.
Islam memang agama kasih sayang, agama cinta yang mendermakan atas kebaikan. Bukan hanya secara vertikal kepada Tuhan, tetapi horizontas sesama manusia dan alam yang selalu diupayakan untuk hidup saling berdampingan, saling menghargai segala sesuatu yang berbeda dengannya. Seperti perkataan penyair Sufi Syaikh Jalaluddin Rumi: “semua agama ibarat bintang-bintang yang bersinar, tapi Islam adalah mataharinya”.
Dalam pandangan sufi seperti Ibnu Arabi dan sufi falsafi lainya mencoba melakukan pendekatan yang lain. Mereka melangkah lebih jauh dengan pengolahan rasa yang mendalam untuk bersikap toleran terhadap yang lain. Manusia tidak hanya memiliki daya rasional tetapi juga memiliki aspek spiritualitas, intuisi imajinasi, dan lain-lain. Banyak dari mereka yang mengeluarkan ujaran-ujaran yang mengagumkan untuk toleransi namun juga menimbulkan kontroversi. Tetapi jika kita lebih mengenal perasaan hati dengan spiritualitas yang tinggi maka kita tidak akan gegabah dalam menilai ujaran-ujaran mereka. Imam Ghazali mengutip ucapan Imam Zainal Abidin bin Ali bin Husein, yang mengatakan :
O, betapa jika aku singkap mutiara pengetahuan
Niscaya orang bilang aku menuhankan berhala
Niscaya banyak orang menghalalkan darahku
Mereka mengira ucapan buruk mereka
Adalah baik belaka
Gagasan para sufi sebenarnya lebih menekankan pada kesatuan eksistensi, penyatuan atas dasar cinta. Gagasan seperti ini memang sulit di ungkapkan, di rumuskan dengan kata-kata, dengan bahasa apapun. Bahwasanya dalam agama cinta tidak menuhankan selain Tuhan Yang Maha Esa dan tidak pernah menyakiti dan membenci keyakinan saudaranya. Jika seorang hamba telah kesurupan ruh cinta maka baginya semua hukum bisa menjadi tak nyata. Seperti Rabiah Adawiah yang sudah tidak bisa lagi membenci iblis dan setan karena pengaruh ruh cinta yang merasukinya. Atau seperti kisah Qais yang tergila-gila dengan Laila meski hukum keluarga berlaku tetapi telinganya telah tuli dengan ruh cinta. Ibnu Arabi mengatakan dalam kitabnya Turjuman al-Asywaq:
Hatiku telah siap menyambut
Segala realitas
Padang rumput bagi rusa
Kuil para Rahib
Rumah berhala-berhala
Ka’bah orang tawaf
Sabak-sabak Taurat
Lembar-lembar Al-Qur’an
Aku mabuk Cinta
Kemanapun Dia bergerak
Disitu aku mencinta
Cinta kepada-Nya
Adalah agama dan keyakinanku
*Penulis adalah Mahasisiwa, jurusan Tasawuf Psikoterapi semester V/E, fakultas Ushuluddin, UIN SGD Bandung.
(NRF)
No comments:
Post a Comment
TINGGALKAN PESAN/SARAN/KOMENTAR ANDA DI BAWAH INI;